20.Nov.2019

Bersiaplah Terpana dengan Keindahan Salar de Uyuni di Bolivia


Setelah berminggu-minggu Mister lebih banyak ajak kamu keliling-keliling objek wisata di Indonesia, sekarang, Mister mau ajak kamu ke Amerika Selatan. Widih, jauh amat! Emang ada apa di sana? Ada dataran garam terbesar dan terluas di dunia! Namanya Salar de Uyuni di Bolivia. Kalau kamu tipe orang yang hobi posting foto-foto kece di Instagram, objek wisata ini cocok banget kamu kunjungi.

0
0
0

Di mananya Bolivia, sih, Salar de Uyuni itu? Di Kota Uyuni, saudara-saudara. Iya, lokasinya sesuai dengan nama objek wisatanya. Dari La Paz, ibu kota Bolivia, dibutuhkan waktu 8 – 10 jam untuk sampai di Uyuni. Asal kamu tahu, Salar de Uyuni bermula sejak puluhan ribu tahun lalu.

Ceritanya, puluhan ribu tahun lalu, ada danau-danau yang menguap. Kini, di saat tertentu setiap tahun, air danau-danu tersebut meluap-luap dan membentuk suatu dataran cukup lebar yang mengandung garam. Itulah Salar de Uyuni.

Kandungan garam di Salar de Uyuni cukup banyak, lho. Mau tahu berapa jumlahnya? Sekitar 25.000 ton! Selain garam, Salar de Uyuni juga menyimpan cadangan litium yang merupakan komponen dalam baterai di laptop, ponsel, dan kendaraan listrik.

Sumber: https://medium.com/@jen.viajera/bolivias-salt-flats-salar-de-uyuni-on-a-shoestring-62bf2446b333

Seperti Mister bilang di paragraf pembuka, Salar de Uyuni merupakan dataran garam terluas di dunia. Saking luasnya, kamu bisa melihat bayangan langit dengan sempurna melalui dataran itu. Seakan-akan langit menyatu dengan tanah. Itulah sebabnya, Salar de Uyuni juga dijuluki sebagai cermin langit raksasa.

Refleksi langit di Salar de Uyuni inilah yang membuat wisatawan berbondong-bondong datang ke sana. Mereka nggak ingin melewatkan kesempatan untuk berfoto kece. Kalau tukang fotonya jagoan, foto yang dihasilkan bisa punya perspektif unik seperti di bawah ini. Orangnya seakan-akan jadi liliput. Keren, ya!

Sumber: http://pohtecktoes.com/salar-de-uyuni-worlds-largest-mirror/

Salar de Uyuni terletak di Amerika Selatan yang dilalui garis khatulistiwa. Itu artinya, wilayah-wilayah di Amerika Selatan hanya punya dua musim, hujan dan kemarau. Kalau kamu bertanya, kapan baiknya pergi ke Salar de Uyuni, saat musim hujan atau kemarau, jawabannya: dua-duanya baik.

Kalau ingin melihat cermin langit raksasa dan bawa pulang foto-foto dengan perspektif unik, datanglah saat musim hujan, yakni pada Desember – April. Saat musim kemarau, yakni pada Mei – November, Salar de Uyuni juga tetep kece, kok, meskipun saat itu kamu gak bisa melihat cermin langit raksasa.

Oh, ya, saat datang ke Salar de Uyuni, kamu juga bisa melihat Isla Incauhasi. Itu adalah pulau yang dipenuhi kaktus dari beragam jenis dan ukuran.

Sumber: https://magazin.lufthansa.com/xx/en/travel-en/salar-de-uyuni-surrounded-by-heaven/

Perlu diketahui, Salar de Uyuni terletak di ketinggian 11.995 di atas permukaan laut. Itu tinggi banget, saudara-saudara. Orang yang nggak terbiasa tinggal di daerah ketinggian, saat berada di Salar de Uyuni, mereka bisa-bisa pusing, mual, dan tersengal-sengal ketika bernapas.

Semakin tinggi suatu tempat, semakin rendah kadar oksigen. Itulah yang membuat orang pada akhirnya kesulitan bernapas, pusing, dsb. Jadi, saat berencana pergi ke Salar de Uyuni, persiapkan kesehatanmu dengan baik. Kalau perlu, lebih baik berkonsultasi dengan dokter terlebih dahulu.

Legenda terbentuknya Salar de Uyuni

Secara ilmiah, Salar de Uyuni terbentuk dari luapan air danau. Namun, menurut kepercayaan masyarakat setempat, Salar de Uyuni terbentuk dari kisah para raksasa. Tunupa, Kusku, dan Kusina. Itulah nama para raksasa yang juga merupakan nama gunung di Bolivia.

Sumber: http://marshmallowtravels.com/2018/09/16/visting-uyuni-part-1/

Alkisah, Tunupa sang lelaki raksasa menikah dengan Kusku sang wanita raksasa. Naas, suatu hari, Tunupa meninggalkan Kusku dan berpindah hati ke Kusina. Wanita mana yang nggak sedih dan sakit hati mendapat perlakuan begitu.

Kusku pun menangis tersedu-sedu. Air mata Kusku inilah yang kemudian membentuk Salar de Uyuni. Hmmm, tragis uga, ya, kisahnya.

Komentar